Rabu, 16 Desember 2015

Cerpen Anak "Jaka Menyawak"



Diadaptasi dari Novel Anak "Jaka Menyawak" dengan bahasa yang sudah disesuaikan.


Jaka Menyawak
Oleh : Widiana Sari


https://i.ytimg.com/vi/biBT8Td9qlQ/hqdefault.jpg 


Pada zaman dahulu, di sebuah kerajaan yang makmur yaitu kerajaan Magenda, hiduplah seorang raja beserta permaisurinya. Raja itu sangatlah bijaksana dan tidak membeda-bedakan rakyatnya. Si Raja dan istrinya di karuniai dua orang anak, satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Anak yang pertama bernama Jaka Pekik dan anak yang kedua bernama Dewi Rara Uju. Mereka berdua memiliki sifat yang santun seperti ayah dan ibunya. Walalupun dari keluarga raja, namun Jaka Pekik dan Dewi Rara Uju tidak sombong. Mereka suka berteman dengan siapa saja.

Beberapa tahun kemudian Jaka Pekik sudah menginjak remaja, kerajaan masih aman dan makmur. Hingga pada suatu hari, Ayah dari Jaka Pekik yaitu sang Raja mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Sang Raja bermimpi sesuatu yang buruk terjadi pada kerajaan apabila anak laki-laki raja tidak segera menikah. Mimpi tersebut membuat raja merasa gundah. Ia sangat khawatir apabila kejadian dalam mimpinya itu benar-benar terjadi.

Ketika sedang dalam keadaan gundah itu sang Raja memanggil anak laki-lakinya yaitu Jaka Pekik. Ia meminta Jaka Pekik untuk segera mencari pendamping hidup padahal Beliau tahu bahwa Jaka Pekik sebenarnya masih terlalu muda untuk menikah. Namun karena takut mimpi tersebut menjadi nyata, ankhirnya sang Raja mendesak Jaka Pekik agar segera menikah dengan menyembunyikan alasan yang sebenarnya.

“Putraku, umurmu semakin bertambah dewasa. Untuk kepentingan kerajaan, segeralah mencari pendamping dan menikah.” Kata sang Raja.

Namun menurut Jaka Pekik, umurnya belum terlalu matang untuk menikah. Ia masih ingin menghabiskan waktu remajanya bersama teman-temannya.

“Ayahanda, saya akan menuruti semua perintah Ayahanda. Tapi saya mohon jangan minta hamba untuk menikah dahulu. Hamba masih ingin menghabiskan waktu remaja hamba dengan teman-teman hamba.”

            Mendengar jawaban dari Jaka Pekik, sang Raja marah. Raja tidak menyangka anak laki-lakinya itu akan membantah perintahnya.

“Lancang sekali kau berani membantah perintah ayahmu ini. Sebenarnya kau ini anak manusia atau bukan?” ucap sang raja dengan sangat emosi.

Jaka Pekik hanya diam. Ibu dan Adiknya yang juga berada di ruang itu hanya bisa diam karena takut jika mereka ikut berbicara, sang Raja akan bertambah murka.
Dengan emosi yang memuncak, sang Raja meneruskan perkataannya.

“karena kau tidak mau menuruti perintahku, ku kutuk kau wahai Jaka Pekik. Ku kutuk kau menjadi manusia biawak!!!”

            Seketika itu Jaka Pekik berubah menjadi manusia setengah biawak. Si jaka Pekik sangat sedih. Ia tidak menyangka orang yang sangat Ia sayangi akan mengutuknya hanya karena Ia tidak menuruti perintah ayahnya satu kali. Ibu dan adiknya juga sangat terkejut ketika perkataan Sang Raja menjadi kenyataan.

            Ketika melihat wujud anaknya menjadi manusia biawak yang menjijikan. Emosi sang raja justru semakin menjadi. Ia pun meminta pengawal untuk mengusir Jaka Penyawak dari istana dan tidak mau lagi mengakui Jaka Menyawak sebagai anaknya.

            Jaka Menyawak pun pergi dari istana. Ibu dan Adiknya hanya bisa menangisi kepergian Jaka Menyawak tanpa bisa berbuat apa-apa. Tidak tahu ke mana Ia harus berjalan, akhirnya Jaka Menyawak memutuskan untuk pergi ke hutan saja. Karena baginya sangat tidak mungkin kalau Ia pergi ke perkampungan warga dengan keadaan seperti sekarang ini.

            Sesampainya di hutan, Jaka Menyawak melihat ada satu gubug tua. Karena hari pun sudah 
mulai gelap, Ia berpikir tidak ada salahnya beristirahat sejenak di gubug tua itu. Jaka Menyawak sempat heran kenapa ada orang yang mendirikan tempat tinggal di hutan seperti ini yang jauh dari perkampungan warga. Kemudian ia bertanya dalam hati apakah gubug ini masih di tinggali. Semoga saja tidak, pikirnya. Karena jika ada orang di gubug ini, maka orang tersebut pasti akan terkejut jika melihat rupa dari Jaka Menyawak yang mirirp biawak.

            Ketika Jaka Menyawak mengetuk pintu gubug, keluarlah wanita tua dari dalam gubug. Ia sempat terkejut ketika melihat Jaka Menyawak. Tetapi setelah Jaka Menyawak berbicara bahwa Ia adalah manusia, wanita tua itu justru bersikap ramah kepadanya. Wanita tua yang dipanggil Nyi Kreti itu juga membujuk agar Jaka Menyawak tetap tinggal di gubugnya dan mau menjadi anak angkatnya.

            Jaka Menyawak terharu karena dengan tampang yang seperti biawak ini, Nyi Kreti masih mau mengajaknya tinggal bersama dan mengangkatnya sebagai anak. Jaka Menyawak pun mengangguk dan mulai sekarang Ia adalah anak dari Nyi Kreti. Nyi Kreti sangat menyayangi Jaka Menyawak begitu pun sebaliknya.

            Tibalah saatnya Jaka Menyawak meneruskan perjalannya ke kediaman gurunya di pulau Anggasana. Nyi Kreti yang mendengar perkataan bahwa Jaka Menyawak akan pergi meninggalkannya mendadak sedih. Namun Jaka Menyawak berjanji bahwa Ia akan kembali pulang setelah urusannya selesai karena Ia sudah menganggap Nyi Kreti sebagai ibu kandungnya.

            Nyi Kreti mengikhlaskan kepergian anak angkatnya tersebut dengan berat hati. Selepas kepergian Jaka Pekik ke padepokan itu hidupnya sangat sepi. Sehari-harinya Ia hanya menunggu Jak Menyawak pulang ke gubugnya.

            Di padepokan, Jaka Menyawak berguru dengan gurunya yang bernama … setelah di rasa ilmunya sudah cukup untuk bekal di masa depan, Jaka Menyawak memutuskan untuk kembali pulang ke rumah Nyi Kreti. Nyi Kreti sangat bahagia ketika Jaka Menyawak pulang. Ia langsung memeluk Jaka Menyawak sambil menangis saking rindunya.

            Ketika mereka berdua sedang bercerita, Nyi Kreti tiba-tiba berkata supaya Jaka Menyawak segera menikah agar memiliki keturunan dan Nyi Kreti mendapat cucu. Tidak di sangka pemikiran Jaka Menyawak sama dengan apa yang diutarakan oleh Nyi Kreti. Namun, Jaka Menyawak ingin meminang salah satu putri dari kerajaan seberang. Awalnya, Nyi Kreti tidak setuju, namun karena desakan sang anak akhirnya Nyi Kreti menyetujuinya. Datanglah mereka ke kerajaan seberang untuk meminang salah satu putri dari raja.

            Di kerajaan, mereka berdua hanya di pandang sebelah mata oleh para pengawal. Namun tidak dengan sang Raja. Beliau menerima dengan senang hati kedatangan Nyi Kreti dan anaknya. Sang Raja pun menyuruh keduanya mengutarakan maksud dari kedatangannya. Nyi Kreti pun berbicara bahwa Ia ingin melamarkan salah satu putri dari Raja untuk anaknya Jaka Menyawak. Raja terkejut. Namun beliau tidak ingin bertindak gegabah. Beliau pun memanggil ke empat putrinya. Dan menanyakan apakah dari ke empat putrinya tersebut ada yang mau di pinang oleh Jaka Menyawak yang buruk rupa. Tiga dari ke empat putri raja tidak mau dan tidak sudi di pinang oleh Jaka Menyawak. Namun tidak dengan putri ke empat raja. Ia dengan tulus menerima pinangan dari Jaka Menyawak. Raja terkejut dengan apa yang dikatakan salah satu putrinya itu.

            Di dalam hati, sang Raja sama sekali tidak menyetujui apabila Jaka Menyawak menjadi menantunya. Namun dengan berat hati ia terpaksa menyetujuinya demi reputasinya sebagai Raja. Menikahlah Jaka Menyawwak dengan putri ke empat dari raja. Istri Jaka Menyawak sangat pandai melayaninya. Jaka sangat bahagia memiliki istri seperti putri itu.

            Hingga pada suatu hari, sang istri melihat seonggok kulit yang menjijikan, Ia langsung menyuruh pengawal membakar onggokan tersebut yang ternyata merupakan kuliat dari Jaka Menyawak. Alhasil Jaka Menyawak tidak bisa kembali ke wujudnya yang buruk rupa dan berubah menjadi Jaka Pekik seperti sebelum di kutuk yang gagah dan tampan. Karena ketampanannya, saudara-saudara dari istri Jaka Menyawak jatuh hati pada Jaka.

Puisi dari Cerita Rakyat Pemalang "Nyi Widuri"



 Balada Kesetiaan Merpati
Oleh : Widiana Sari


Sepasang merpati putih
Terbahak diantara pepohonan rindang
Bercengkerama dengan siluet tanda bahagia
Yang berjanji untuk setia

Sampai pada suatu waktu
Ketika sang jantan termangu
Dan meninggalkan betina tanpa ragu
Janji setia yang dulu seakan berlalu
           
Tak disangka
Betina tetap enggan beranjak dari singgasananya
Setia, menunggu sang jantan kembali membawanya 
Berkelana
Mengejar kebahagiaan nyata
           
           
Musim demi musim tlah beranjak dari lalunya
Namun sang jantan tak jua tiba
Dan pada akhirnya pendar mata sang betina
Tertutup untuk selama-lamanya


Cerpen Tema Keadaan Sosial



Tuhan, Aku Ingin Sekolah
Oleh : Widiana Sari

Terik matahari tidak menghalangi semangat Anik untuk mencari rezeki dari tumpukan sampah di TPU sekitar tempat tinggalnya. Dengan bermodalkan karung yang Ia bawa dari rumah, Anik mengais sampah-sampah yang sekiranya bisa ditukar dengan beberapa lembar rupiah hingga karungnya penuh. Peluh yang mengucur dari dahi pun tak mengendurkan semangatnya untuk terus bergumul dengan benda yang berbau tak sedap ini.

Anik, begitulah orang-orang memanggilnya. sosok ceria yang baru menginjak usia 9 tahun ini adalah satu diantaranya banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari tumpukan sampah. Di usianya yang masih terbilang sangat muda, Ia harus akrab dengan sampah demi membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Anik tidak pernah merasa malu dengan pekerjaan yang Ia tekuni sekarang. Meskipun terkadang Ia harus berlapang dada menghadapi cemoohan dari teman-temannya karena dia tidak sekolah. Baginya membantu orang tua adalah yang utama, mengingat orang tua yang tersisa sekarang  hanyalah Ibunya. Bapaknya sudah 3 tahun meninggal karena penyakit liver. Jadi, Anik harus bekerja membantu Ibunya yang juga seorang pemulung demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.

Ketika sedang asik mengorek-ngorek sampah, Anik melihat ada sebuah buku diantara tumpukan sampah yang terbungkus plastik kresek berwarna putih. Entah kenapa, Ia ingin sekali mengambilnya. Di ambilah buku yang terbungkus plastik tersebut kemudian ia buka plastik untuk mengeluarkan bukunya dari plastik kresek.

“Sepertinya buku ini bagus, banyak gambarnya, lucu.” batin Anik sambal membolak-balik buku.

Tapi seketika itu pula Anik sadar, ia tidak bisa membaca. Tidak mungkin ia membawa buku ini pulang karena ia tidak bisa membacanya. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Ia masukkan buku tersebut ke dalam karung yang sudah penuh dengan sampah untuk di bawa pulang. Ia berharap salah satu dari temannya yang sudah bersekolah mau mengajarinya membaca ketika Ia sudah sampai di rumah.

***

Anik duduk terdiam di atas dipan bambu kamarnya. Hatinya sedikit teriris dengan kejadian tadi yang menimpanya. Tadi, setelah pulang dari tempat pengepul sampah langganannya, Ia menghampiri salah seorang temannya yang sedang bermain dengan teman yang lain. Anik menyodorkan buku yang tadi ditemukannya di tumpukan sampah, dan meminta agar temannya itu mengajarinya membaca karena Ia sangat ingin membaca buku itu.

“Dian, tadi aku nemu buku ini di tumpukan sampah. Sepertinya bukunya bagus. Banyak gambarnya. Ajarin aku biar bisa bacanya dong. Aku ingin sekali bisa baca buku ini.” Ucap Anik dengan penuh harap.

Temannya yang bernama Dian itu hanya tertawa. Ia seperti menertawai apa yang diomongkan Anik tadi dan menjawab.

“Hahaha kamu ini Nik, kalo mau bisa baca itu ya sekolah. Jangan minta ajarin aku. Kalo nggak bisa sekolah nggak usah pengen bisa baca. Mending sana cari sampah lagi. Haha.”

Seketika itu pun teman yang lainnya ikut menertawai Anik. Permintaannya yang tulus agar Ia diajari membaca sama sekali tidak membuahkan hasil. Sekarang justru Ia menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Karena tidak kuat dengan perlakuan teman-temannya itu, Ia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Anik berlari sambil menahan air matanya agar tidak jatuh sembari mendekap erat buku miliknya.

Dari dulu memang ia sangat ingin bersekolah seperti teman-teman sebayanya. Tapi keadaan ekonomilah yang memaksanya untuk melupakan keinginannya itu. Tapi sekarang, keinginan untuk bersekolah itu kembali muncul ketika Anik mendapatkan buku yang tadi ia temukan di tumpukan sampah. Ia benar-benar ingin merasakan bagaimana senangnya berada di bangku sekolah, belajar membaca dan berhitung bersama teman-temannya, dan bermain bersama teman-temannya.

Sesampainya di rumah, Ia langsung pergi ke kamar dan menumpahkan air mata yang dari tadi sempat dibendungnya. Namun itu tidak berlangsung lama karena Anik tidak mau Ibunya melihat ketika Ia sedang menangis. Buku yang sedari tadi Ia dekap kini telah diletakkan di bawah kasur kerasnya.
Melihat anak satu-satunya yang sedang duduk terdiam dan termenung di atas dipan, ibunya sedikit khawatir. Ia pun menghampiri anaknya yang sedang duduk di atas dipan kamarnya.

“Kamu ini kenapa to nduk? Ndak biasanya kamu nglamun begini.”

“Tidak apa-apa kok Mbok.” Jawabnya sambil menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya agar ibunya percaya bahwa dia tidak apa-apa walaupun Anik tahu bahwa Ibunya tidak bisa didustai.

Tidak mungkin Ia menceritakan apa yang terjadi tadi kepada Ibunya karena itu akan menambah beban pikiran orang tua satu-satunya. Keadaan ekonomi yang serba kekurangan ini sudah cukup membuat Ibunya banyak pikiran dan Anik tidak ingin menambah beban pikiran Ibunya dengan mengatakan bahwa Ia sangat ingin bersekolah. Biarlah apa yang ia inginkan itu dipendam dalam hatinya sendiri. Biarlah hanya dirinya dan tuhan yang tahu keinginan terbesarnya.

***
Pukul 22.30 WIB Anik masih terjaga. Sedari tadi Ia hanya melamun di kamar sempitnya sambil mendekap buku yang ditemukan tadi pagi yang sekarang menjadi barang kesayangannya. Pikirannya hanya berputar-putar pada keinginan terbesarnya yaitu bisa bersekolah agar setidaknya Ia bisa membaca seperti anak-anak lain. Anik membayangkan bagaimana rasanya memakai seragam sekolah yang dari dulu sangat ingin Ia kenakan. Ia membayangkan bagaimana senangnya bisa belajar di ruang kelas bersama teman-teman sebayanya dan bermain bersama tanpa ada cemoohan lagi. Namun, lagi-lagi itu hanya sekadar imaji sesaatnya saja.

Sepertinya bangku sekolah memang merupakan sesuatu yang mahal dan mustahil dijangkau untuk Anik. Dan lagi-lagi keadaan ekonomilah yang menjadi penghambat atas keinginannya itu. Walaupun pemerintah telah menetapkan peraturan wajib sekolah 9 tahun dan biaya pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di biayai oleh pemerintah, tetap saja itu masih dirasa berat. Karena kebutuhan sehari-hari untuk anak sekolah tidaklah sedikit mulai dari seragam sekolah, sepatu, tas, buku, dan peralatan lainnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Ibunya tidak sanggup memasukka Anik ke bangku sekolah karena Ibunya tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan tadi. Belum lagi, jika Anik bersekolah siapa yang akan membantu Ibunya banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka?

Pikiran-pikiran tersebut terus berkelebat di dalam otak Anik. Di satu sisi Ia kasihan kepada ibunya namun di sisi yang lain ia benar-benar ingin menyenyam bangku pendidikan. Tapi jika pun Ia benar ingin bersekolah, Ia tidak boleh membebani Ibunya. Tapi bagaimana caranya?

Anik semakin bimbang, bingung, dan dilema. Seharusnya untuk ukuran anak yang masih berumur 9 tahun, perasaan seberat ini belum waktunya menghampiri, karena anak seusia Anik seharusnya masih ceria-cerianya dalam bermain, belajar dan bergaul bersama teman-temannya. Namun keadaan hidup Anik yang seperti ini memaksanya untuk lebih dewasa dalam berpikir dibanding anak-anak seuasianya.

Tidak mau terlalu keras berpikir, Anik memutuskan untuk tidur dan merilekskan pikirannya. Sebelum tidur, diletakkan kembali buku kesayangannya itu di bawah kasur. Tidak lupa pula Anik membaca doa sebelum tidur dan sedikit memanjatkan harapannya kepada yang maha segala. Dengan sedikit terpejam, Ia mengutarakan harapannya.

“Tuhan, aku ingin sekolah.” Ucapnya dalam hati dan kemudian terlelap.


Semarang, 7 Desember 2015

Kamis, 10 Desember 2015

Cerpen Tema Pengalaman Pribadi



Mengagumi dalam Diam

 Oleh : Widiana Sari


Karena kau akan percaya
Cinta pada pandangan pertama
Ketika kau mengalaminya sendiri
–Kania

Aku melangkah gontai menyususi lorong sekolah yang masih terlihat sepi. Ku perbaiki letak tas punggungku dengan malasnya. Pendar mataku menelisik ke sekeliling sudut sekolah tetapi nihil, sekolah memang masih sepi. Hanya terlihat beberapa anak saja yang telah berada di ruangannya. Itu pun mungkin karena mereka bertugas piket membersihkan kelas hari ini.

Hari ini aku terpaksa berangkat pagi lagi karena paman yang biasa mengantarku berangkat sekolah mendapat shif kerja pagi dan harus berangkat kerja pagi pula. Jadi aku harus menyesuaikan pamanku jika tidak ingin berangkat dengan kendaraan umum. Alhasil sampai di sekolah pun masih terlalu pagi.
Ku lanjutkan langkahku dengan sedikit cepat ketika melawati area laboratorium Fisika yang dikata sedikit angker.  Entah itu benar atau tidak, namun aku yang memang pada dasarnya sosok penakut tidak bisa menyepelakan rumor mengenai ruang yang sedang aku lewati ini.

Masih dengan perasaan takut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahku. Tidak selang berapa lama, sosok tinggi tegap telah menjajari langahku yang sedikit cepat. Aku mendongak, menatap ke arah sosok itu. Tidak tahu kenapa, tetapi ketika melihat wajahnya yang tersenyum ke arahku, hatiku berdegup sangat kencang. Apa ini karena parasaan takutku? Atau apa?

Ehh, ini dia lagi senyum ke Aku? Eh kok manis gitu senyumnya. Kenapa jadi deg-degan gini coba, yampuun. Aduuh.

Aku menunduk dan kita masih berjalan beriringan melewati area laboratorium fisika itu dengan diam, tanpa kata-kata. Sampai pada akhirnya ia pun membuka percakapan.

“kalo emang takut lewat tempat tadi, jangan berangkat kepagian deh.”

Aku kembali mendongak, menatap pendar mata coklat satire yang indah itu.

“oh, i-iya.”

“juga jangan terlalu percaya dengan rumor yang belum tentu benar.”

Aku hanya diam, mulutku seperti terkunci dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.

Kenapa rasanya Ia dapat membaca pikiranku? Dari mana Ia tahu kalau aku begitu takut melawati area laboratorium tadi? Apa auraku sangat jelas menandakan kalau aku sedang ketakutan?

“kentara sekali tadi kalau kamu sangat takut.”

“lagi-lagi? Dia tau apa yang aku pikirkan? Aneh.” Decikku dalam hati

Sampai di depan kelasku, kami berhenti dan aku menundukkan sedikit badanku sebagai ucapan terima kasih. Dan lagi-lagi Ia menampakkan senyuman mautnya, senyuman yang ketika siapa saja melihat itu, pasti akan terpesona. Aku yakin. Karena senyum itu begitu manis dan tidak terkesan dibuat-buat.

“Oh ya, aku Nathan.”

“Kania”

“Okay Kania. Inget, jangan gampang percaya rumor gak jelas. Aku pergi dulu.”

Aku hanya menganggukkan kepala dan melambaikan tangan ketika sosok itu berjalan menjauh yang kemudian menghilang dari pandanganku. Sebelumnya aku tidak percaya love at the first sight atau cinta pada pandangan pertama, namun sekarang aku mempercayainya. Aku mempercayainya setelah bertemu dengan sosok pemilik senyum indah itu. Tapi yang jelas, aku merasakannya, cinta pada pandangan pertama.

***

“Kaniaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Teriak seorang siswa yang suaranya senyaring knalpot bajaj. Siapa lagi kalau bukan Atika, teman sebangkuku yang terkenal bawel dan cempreng. Jika ada yang bertanya siapa yang paling bawel dan cempreng di kelas ini, semuanya pasti akan menjawab Atika Rahmawati. Namun aku sering memanggilnya dengan sebutan “Bunti”. Siswa yang aktif di anggota OSIS dengan segudang prestasi yang Ia miliki, cantik dan ramah kepada siapapun, membuatnya menonjol di antara yang lain.

“Ih kebiasaan banget si kamu Bun, suara kamu itu udah kek radio yang kadaluarsa tau gak. Bikin orang-orang tutup kuping.” Bentakku sambil menyentil pipinya dan memonyongkan sedikit bibirku. 

Yang di bentak hanya nyengir kuda dengan tampang tanpa dosa dan merangkulku untuk duduk di bangku koridor depan kelas. Kebetulan ini adalah jam istirahat.

“Ehh Bun, aku mau nanya deh.”

“Nanya apa neng? Keknya serius amat.”

“Kamu percaya love at the first sight sight gak?”

“Cinta pada pandangan pertama? Of course! Kenapa?”

“Trus trus kalo setiap liat seseorang bawaannya deg-degan mulu tapi seneng itu namanya apa?” tanyaku sok polos.

“Pertanyaan aku, kamu itu kenapa? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” katanya mulai curiga dan melihatku dengan tatapan yang dalam seakan-akan sedang membaca pikiranku.

“Engga papa, Cuma nanya kok.”

Karena tidak ingin ditanyai lebih lanjut oleh teman bawelku ini, aku masuk ke dalam kelas meninggalkannya di bangku koridor. Ku urungkan niatku untuk bercerita mengenai hal yang terjadi tadi pagi kepada temanku Atika. Mungkin akan lebih baik jika aku menyimpannya sendiri.

***

Sudah hampir satu semester ini aku mengagumi sosok Nathan yang notabene adalah sosok yang dikenal dingin. Mengagumi dalam diam lebih tepatnya. Memang, rasa kagumku ini hanya aku simpan seorang diri tanpa siapapun tahu termasuk teman dekatku Atika. Namun, kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku bahagia walaupun hanya bisa memandanganya dari kejauhan, memperhatikan ketika dia bercengkrama dengan teman-temannya dari kejauhan, dan melihat senyum indahnya dari kejauhan pula. Nathan adalah penyemangatku yang kedua setelah orang tuaku untuk lebih rajin belajar di sekolah sejak pagi itu. Pagi di mana aku bertemu dengannya untuk pertama kali.

“Ayoo Kan!!! Drible sendiri!!! Masukin bolanya ke ring!!”

“Kania.. Kania.. Kania..”

“Ganbatte Kaniungg”

Aku sedang berlatih basket di lapangan sekolah sore ini dan suara cempreng yang sedang menyemangatiku itu adalah suara Atika. Ya, aku adalah salah satu anggota dari team basket di sekolahku. Namun tidak dengan Atika, Ia hanya saja kebetulan ingin melihat aku bermain dan menungguiku sampai latihan selesai.

Ketika aku sedang mendrible bola, sosok yang selalu aku ingin lihat itu muncul dan berdiri di tepi lapangan basket. Seketika itu hatiku kembali berdegup sangat kencang. Sedikit lebay memang. Tapi kenyataannya memang begitu. Aku kelihangan fokusku. Ku lemparkan bola ke arah temanku dan aku sedikit menepi sambil mengusap peluh di dahiku.

“priiiiitttt priiiiitttt priiitttt.” Suara peluit akhirnya mengakhiri permainan. Aku bejalan ke tepi lapangan dan duduk di samping Atika dan tepat di belangkangku adalah Nathan. Sekarang gantian team cowok yang bermain di lapangan.

Sedang asyik menikmati permainan basket dari team cowok, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah bola yang melayang tepat ke arahku. Refleks ke tutup mataku dengan kedua tangan rapat-rapat.

“kyaaaaaaaa!!” teriakku sambil terus menutup mata.

1 detik, 2 detik, 3 detik.

Loh kok aku nggak ngrasain apa-apa ya. Perasaan tadi bolanya melayang tepat ke arah aku banget deh. Ya ampun.

Aku membuka mata dan berhenti berteriak. Ku tengok kanan dan kiri mencari jawaban ke mana bola yang jelas-jelas tadi melayang ke arahku.

“auuu!” pekik seseorang di belakangku.

Aku tersentak, di belakangku adalah Nathan. Apa dia yang terkena bola itu? Aku pun langsung memutar tubuhku dan benar, aku melihat Nathan memekik kesakitan sambil melempar bola yang mengenainya tadi ke arah lapangan.

“Aduh, maaf Nath. Engga sengaja deh.” Seru salah seorang yang sedang bermain di lapangan.

Tanpa berpikir panjang, aku segera berdiri dan menghampiri Nathan dan bertanya apakah dia benar-benar baik saja karena lemparan bola itu agaknya cukup keras dan terlihat ada benjolan di dahi kanannya.

“ya.” Jawabnya singkat sambal merapihkan rambut bagian depan yang sedikit berantakan karena terkena lemparan bola.

“Tapi.. itu.. jidat kamu benjol gitu. Beneran engga sakit emang? Aku obtain ya di UKS, kayaknya UKS belum tutup deh.” ajakku sambil menunjuk arah ruang UKS yang tidak jauh dari lapangan basket dengan pintu yang masih terbuka.

“engga usah.”

Nathan sama sekali tidak menatapku ketika menjawab ajakanku. Auranya dingin, dia seperti mengabaikan keberadaanku di dekatnya. Sedikit kesal karena dia mengabaikan keberadaanku dan sifatnya yang keras kepala tidak mau diobati itu, aku langsung menarik tangannya dengan sedikit paksaan dan berjalan menuntunnya menuju ke ruang UKS. Yang di tarik hanya diam tidak menolak. Aku pun tersenyum dalam hati. Namun rasa gugup tidak bisa aku hindari karena bagaimanapun ini adalah kali pertamaku memegang tangan Nathan.

Dengan telaten, aku mengobati luka benjolan di kepala Nathan dan dengan susah payah aku menyembunyikan kegugupanku itu. Untungnya aku bisa menyembunyikannya dan berpura-pura serius mengobati lukanya.

“Pegang nih. Itu kapas udah tak kasih alkohol biar benjol kamu cepet kempes.” Ujarku halus.
Tidak ada tanggapan. Yang diajak bicara hanya diam dengan ekspresi muka datar dan dingin.

Kenapa Nathan dingin sekali. Padahal waktu itu jelas-jelas aku bisa merasakan kehangatan darinya. Dia kenapa sih? Apa dia engga inget kejadian itu? Atau udah lupa sama aku?

Krik.

Kami terjebak dalam diam. Suasana ini membuatku canggung dan membuat degupan di jantungku semakin mengeras. Kenapa dengan menatapnya saja bisa membuatku segugup ini? Ya Tuhan. Dalam lubuk hati, aku bahagia sekali bisa satu langkah lebih dekat dengannya, walau sikap dinginnya membuatku sesak beberapa kali.

Saat ini, aku berharap waktu berhenti berputar. Aku ingin terus seperti ini, menatap sosok yang yang begitu aku kagumi dari dekat. Namun tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiranku untuk mencoba mendekatinya atau mencuri perhatiannya agar dia tau kalau aku mengaguminya. Apa yang aku lakukan saat ini yakni mengobati lukanya tak lain karena rasa khawatir.

Aku tidak tau sampai kapan akan terus mengagumi sosok ini dalam diam. Namun sekarang, biarkanlah seperti ini, karena aku bahagia bisa mengaguminya dalam diam tanpa yang dikagumi harus tau.

Biarkan aku mengagumi
Dalam diam
Tanpa perlu kamu tahu
-Kania
Semarang, 18 November 2015