Mengagumi dalam Diam
Oleh : Widiana Sari
Karena kau akan percaya
Cinta pada pandangan pertama
Ketika kau mengalaminya sendiri
–Kania
Aku
melangkah gontai menyususi lorong sekolah yang masih terlihat sepi. Ku perbaiki
letak tas punggungku dengan malasnya. Pendar mataku menelisik ke sekeliling
sudut sekolah tetapi nihil, sekolah memang masih sepi. Hanya terlihat beberapa
anak saja yang telah berada di ruangannya. Itu pun mungkin karena mereka bertugas
piket membersihkan kelas hari ini.
Hari
ini aku terpaksa berangkat pagi lagi karena paman yang biasa mengantarku
berangkat sekolah mendapat shif kerja pagi dan harus berangkat kerja pagi pula.
Jadi aku harus menyesuaikan pamanku jika tidak ingin berangkat dengan kendaraan
umum. Alhasil sampai di sekolah pun masih terlalu pagi.
Ku
lanjutkan langkahku dengan sedikit cepat ketika melawati area laboratorium
Fisika yang dikata sedikit angker. Entah
itu benar atau tidak, namun aku yang memang pada dasarnya sosok penakut tidak
bisa menyepelakan rumor mengenai ruang yang sedang aku lewati ini.
Masih
dengan perasaan takut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan
mendekat ke arahku. Tidak selang berapa lama, sosok tinggi tegap telah
menjajari langahku yang sedikit cepat. Aku mendongak, menatap ke arah sosok
itu. Tidak tahu kenapa, tetapi ketika melihat wajahnya yang tersenyum ke
arahku, hatiku berdegup sangat kencang. Apa ini karena parasaan takutku? Atau
apa?
Ehh, ini dia lagi senyum ke Aku? Eh
kok manis gitu senyumnya. Kenapa jadi deg-degan gini coba, yampuun. Aduuh.
Aku
menunduk dan kita masih berjalan beriringan melewati area laboratorium fisika
itu dengan diam, tanpa kata-kata. Sampai pada akhirnya ia pun membuka
percakapan.
“kalo
emang takut lewat tempat tadi, jangan berangkat kepagian deh.”
Aku
kembali mendongak, menatap pendar mata coklat satire yang indah itu.
“oh,
i-iya.”
“juga
jangan terlalu percaya dengan rumor yang belum tentu benar.”
Aku
hanya diam, mulutku seperti terkunci dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata
lagi.
Kenapa rasanya Ia dapat membaca
pikiranku? Dari mana Ia tahu kalau aku begitu takut melawati area laboratorium
tadi? Apa auraku sangat jelas menandakan kalau aku sedang ketakutan?
“kentara
sekali tadi kalau kamu sangat takut.”
“lagi-lagi?
Dia tau apa yang aku pikirkan? Aneh.” Decikku dalam hati
Sampai
di depan kelasku, kami berhenti dan aku menundukkan sedikit badanku sebagai
ucapan terima kasih. Dan lagi-lagi Ia menampakkan senyuman mautnya, senyuman
yang ketika siapa saja melihat itu, pasti akan terpesona. Aku yakin. Karena senyum
itu begitu manis dan tidak terkesan dibuat-buat.
“Oh
ya, aku Nathan.”
“Kania”
“Okay
Kania. Inget, jangan gampang percaya rumor gak jelas. Aku pergi dulu.”
Aku
hanya menganggukkan kepala dan melambaikan tangan ketika sosok itu berjalan
menjauh yang kemudian menghilang dari pandanganku. Sebelumnya aku tidak percaya
love at the first sight atau cinta
pada pandangan pertama, namun sekarang aku mempercayainya. Aku mempercayainya
setelah bertemu dengan sosok pemilik senyum indah itu. Tapi yang jelas, aku merasakannya,
cinta pada pandangan pertama.
***
“Kaniaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Teriak
seorang siswa yang suaranya senyaring knalpot bajaj. Siapa lagi kalau bukan
Atika, teman sebangkuku yang terkenal bawel dan cempreng. Jika ada yang
bertanya siapa yang paling bawel dan cempreng di kelas ini, semuanya pasti akan
menjawab Atika Rahmawati. Namun aku sering memanggilnya dengan sebutan “Bunti”.
Siswa yang aktif di anggota OSIS dengan segudang prestasi yang Ia miliki,
cantik dan ramah kepada siapapun, membuatnya menonjol di antara yang lain.
“Ih
kebiasaan banget si kamu Bun, suara kamu itu udah kek radio yang kadaluarsa tau
gak. Bikin orang-orang tutup kuping.” Bentakku sambil menyentil pipinya dan
memonyongkan sedikit bibirku.
Yang di bentak hanya nyengir kuda dengan tampang
tanpa dosa dan merangkulku untuk duduk di bangku koridor depan kelas. Kebetulan
ini adalah jam istirahat.
“Ehh
Bun, aku mau nanya deh.”
“Nanya
apa neng? Keknya serius amat.”
“Kamu
percaya love at the first sight sight
gak?”
“Cinta
pada pandangan pertama? Of course!
Kenapa?”
“Trus
trus kalo setiap liat seseorang bawaannya deg-degan mulu tapi seneng itu
namanya apa?” tanyaku sok polos.
“Pertanyaan
aku, kamu itu kenapa? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” katanya mulai curiga dan
melihatku dengan tatapan yang dalam seakan-akan sedang membaca pikiranku.
“Engga
papa, Cuma nanya kok.”
Karena
tidak ingin ditanyai lebih lanjut oleh teman bawelku ini, aku masuk ke dalam
kelas meninggalkannya di bangku koridor. Ku urungkan niatku untuk bercerita
mengenai hal yang terjadi tadi pagi kepada temanku Atika. Mungkin akan lebih
baik jika aku menyimpannya sendiri.
***
Sudah
hampir satu semester ini aku mengagumi sosok Nathan yang notabene adalah sosok
yang dikenal dingin. Mengagumi dalam diam lebih tepatnya. Memang, rasa kagumku
ini hanya aku simpan seorang diri tanpa siapapun tahu termasuk teman dekatku
Atika. Namun, kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku bahagia walaupun hanya bisa
memandanganya dari kejauhan, memperhatikan ketika dia bercengkrama dengan
teman-temannya dari kejauhan, dan melihat senyum indahnya dari kejauhan pula.
Nathan adalah penyemangatku yang kedua setelah orang tuaku untuk lebih rajin
belajar di sekolah sejak pagi itu. Pagi di mana aku bertemu dengannya untuk
pertama kali.
“Ayoo
Kan!!! Drible sendiri!!! Masukin bolanya ke ring!!”
“Kania..
Kania.. Kania..”
“Ganbatte
Kaniungg”
Aku
sedang berlatih basket di lapangan sekolah sore ini dan suara cempreng yang
sedang menyemangatiku itu adalah suara Atika. Ya, aku adalah salah satu anggota
dari team basket di sekolahku. Namun tidak dengan Atika, Ia hanya saja
kebetulan ingin melihat aku bermain dan menungguiku sampai latihan selesai.
Ketika
aku sedang mendrible bola, sosok yang selalu aku ingin lihat itu muncul dan berdiri
di tepi lapangan basket. Seketika itu hatiku kembali berdegup sangat kencang.
Sedikit lebay memang. Tapi kenyataannya memang begitu. Aku kelihangan fokusku.
Ku lemparkan bola ke arah temanku dan aku sedikit menepi sambil mengusap peluh
di dahiku.
“priiiiitttt
priiiiitttt priiitttt.” Suara peluit akhirnya mengakhiri permainan. Aku bejalan
ke tepi lapangan dan duduk di samping Atika dan tepat di belangkangku adalah
Nathan. Sekarang gantian team cowok yang bermain di lapangan.
Sedang
asyik menikmati permainan basket dari team cowok, tiba-tiba aku dikagetkan oleh
sebuah bola yang melayang tepat ke arahku. Refleks ke tutup mataku dengan kedua
tangan rapat-rapat.
“kyaaaaaaaa!!”
teriakku sambil terus menutup mata.
1
detik, 2 detik, 3 detik.
Loh kok aku nggak ngrasain apa-apa
ya. Perasaan tadi bolanya melayang tepat ke arah aku banget deh. Ya ampun.
Aku
membuka mata dan berhenti berteriak. Ku tengok kanan dan kiri mencari jawaban
ke mana bola yang jelas-jelas tadi melayang ke arahku.
“auuu!”
pekik seseorang di belakangku.
Aku
tersentak, di belakangku adalah Nathan. Apa dia yang terkena bola itu? Aku pun
langsung memutar tubuhku dan benar, aku melihat Nathan memekik kesakitan sambil
melempar bola yang mengenainya tadi ke arah lapangan.
“Aduh,
maaf Nath. Engga sengaja deh.” Seru salah seorang yang sedang bermain di
lapangan.
Tanpa
berpikir panjang, aku segera berdiri dan menghampiri Nathan dan bertanya apakah
dia benar-benar baik saja karena lemparan bola itu agaknya cukup keras dan
terlihat ada benjolan di dahi kanannya.
“ya.”
Jawabnya singkat sambal merapihkan rambut bagian depan yang sedikit berantakan
karena terkena lemparan bola.
“Tapi..
itu.. jidat kamu benjol gitu. Beneran engga sakit emang? Aku obtain ya di UKS,
kayaknya UKS belum tutup deh.” ajakku sambil menunjuk arah ruang UKS yang tidak
jauh dari lapangan basket dengan pintu yang masih terbuka.
“engga
usah.”
Nathan
sama sekali tidak menatapku ketika menjawab ajakanku. Auranya dingin, dia
seperti mengabaikan keberadaanku di dekatnya. Sedikit kesal karena dia
mengabaikan keberadaanku dan sifatnya yang keras kepala tidak mau diobati itu,
aku langsung menarik tangannya dengan sedikit paksaan dan berjalan menuntunnya
menuju ke ruang UKS. Yang di tarik hanya diam tidak menolak. Aku pun tersenyum
dalam hati. Namun rasa gugup tidak bisa aku hindari karena bagaimanapun ini
adalah kali pertamaku memegang tangan Nathan.
Dengan
telaten, aku mengobati luka benjolan di kepala Nathan dan dengan susah payah
aku menyembunyikan kegugupanku itu. Untungnya aku bisa menyembunyikannya dan
berpura-pura serius mengobati lukanya.
“Pegang
nih. Itu kapas udah tak kasih alkohol biar benjol kamu cepet kempes.” Ujarku
halus.
Tidak
ada tanggapan. Yang diajak bicara hanya diam dengan ekspresi muka datar dan
dingin.
Kenapa Nathan dingin sekali.
Padahal waktu itu jelas-jelas aku bisa merasakan kehangatan darinya. Dia kenapa
sih? Apa dia engga inget kejadian itu? Atau udah lupa sama aku?
Krik.
Kami
terjebak dalam diam. Suasana ini membuatku canggung dan membuat degupan di jantungku
semakin mengeras. Kenapa dengan menatapnya saja bisa membuatku segugup ini? Ya
Tuhan. Dalam lubuk hati, aku bahagia sekali bisa satu langkah lebih dekat
dengannya, walau sikap dinginnya membuatku sesak beberapa kali.
Saat
ini, aku berharap waktu berhenti berputar. Aku ingin terus seperti ini, menatap
sosok yang yang begitu aku kagumi dari dekat. Namun tidak pernah terbersit
sedikit pun dalam pikiranku untuk mencoba mendekatinya atau mencuri
perhatiannya agar dia tau kalau aku mengaguminya. Apa yang aku lakukan saat ini
yakni mengobati lukanya tak lain karena rasa khawatir.
Aku
tidak tau sampai kapan akan terus mengagumi sosok ini dalam diam. Namun
sekarang, biarkanlah seperti ini, karena aku bahagia bisa mengaguminya dalam
diam tanpa yang dikagumi harus tau.
Biarkan aku mengagumi
Dalam diam
Tanpa perlu kamu tahu
-Kania
Semarang, 18 November 2015
Daebak (y)
BalasHapusTerima kasih Kakak :D baca cerpenku yang lain juga ya :)
HapusGood story.....
BalasHapusRealita bgt kayaknya....hehe
Terima kasih sudah mampir Kak :)
Hapushaha itu Realita tapi masa lalu loh ya :D