Kamis, 10 Desember 2015

Cerpen Tema Pengalaman Pribadi



Mengagumi dalam Diam

 Oleh : Widiana Sari


Karena kau akan percaya
Cinta pada pandangan pertama
Ketika kau mengalaminya sendiri
–Kania

Aku melangkah gontai menyususi lorong sekolah yang masih terlihat sepi. Ku perbaiki letak tas punggungku dengan malasnya. Pendar mataku menelisik ke sekeliling sudut sekolah tetapi nihil, sekolah memang masih sepi. Hanya terlihat beberapa anak saja yang telah berada di ruangannya. Itu pun mungkin karena mereka bertugas piket membersihkan kelas hari ini.

Hari ini aku terpaksa berangkat pagi lagi karena paman yang biasa mengantarku berangkat sekolah mendapat shif kerja pagi dan harus berangkat kerja pagi pula. Jadi aku harus menyesuaikan pamanku jika tidak ingin berangkat dengan kendaraan umum. Alhasil sampai di sekolah pun masih terlalu pagi.
Ku lanjutkan langkahku dengan sedikit cepat ketika melawati area laboratorium Fisika yang dikata sedikit angker.  Entah itu benar atau tidak, namun aku yang memang pada dasarnya sosok penakut tidak bisa menyepelakan rumor mengenai ruang yang sedang aku lewati ini.

Masih dengan perasaan takut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahku. Tidak selang berapa lama, sosok tinggi tegap telah menjajari langahku yang sedikit cepat. Aku mendongak, menatap ke arah sosok itu. Tidak tahu kenapa, tetapi ketika melihat wajahnya yang tersenyum ke arahku, hatiku berdegup sangat kencang. Apa ini karena parasaan takutku? Atau apa?

Ehh, ini dia lagi senyum ke Aku? Eh kok manis gitu senyumnya. Kenapa jadi deg-degan gini coba, yampuun. Aduuh.

Aku menunduk dan kita masih berjalan beriringan melewati area laboratorium fisika itu dengan diam, tanpa kata-kata. Sampai pada akhirnya ia pun membuka percakapan.

“kalo emang takut lewat tempat tadi, jangan berangkat kepagian deh.”

Aku kembali mendongak, menatap pendar mata coklat satire yang indah itu.

“oh, i-iya.”

“juga jangan terlalu percaya dengan rumor yang belum tentu benar.”

Aku hanya diam, mulutku seperti terkunci dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.

Kenapa rasanya Ia dapat membaca pikiranku? Dari mana Ia tahu kalau aku begitu takut melawati area laboratorium tadi? Apa auraku sangat jelas menandakan kalau aku sedang ketakutan?

“kentara sekali tadi kalau kamu sangat takut.”

“lagi-lagi? Dia tau apa yang aku pikirkan? Aneh.” Decikku dalam hati

Sampai di depan kelasku, kami berhenti dan aku menundukkan sedikit badanku sebagai ucapan terima kasih. Dan lagi-lagi Ia menampakkan senyuman mautnya, senyuman yang ketika siapa saja melihat itu, pasti akan terpesona. Aku yakin. Karena senyum itu begitu manis dan tidak terkesan dibuat-buat.

“Oh ya, aku Nathan.”

“Kania”

“Okay Kania. Inget, jangan gampang percaya rumor gak jelas. Aku pergi dulu.”

Aku hanya menganggukkan kepala dan melambaikan tangan ketika sosok itu berjalan menjauh yang kemudian menghilang dari pandanganku. Sebelumnya aku tidak percaya love at the first sight atau cinta pada pandangan pertama, namun sekarang aku mempercayainya. Aku mempercayainya setelah bertemu dengan sosok pemilik senyum indah itu. Tapi yang jelas, aku merasakannya, cinta pada pandangan pertama.

***

“Kaniaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Teriak seorang siswa yang suaranya senyaring knalpot bajaj. Siapa lagi kalau bukan Atika, teman sebangkuku yang terkenal bawel dan cempreng. Jika ada yang bertanya siapa yang paling bawel dan cempreng di kelas ini, semuanya pasti akan menjawab Atika Rahmawati. Namun aku sering memanggilnya dengan sebutan “Bunti”. Siswa yang aktif di anggota OSIS dengan segudang prestasi yang Ia miliki, cantik dan ramah kepada siapapun, membuatnya menonjol di antara yang lain.

“Ih kebiasaan banget si kamu Bun, suara kamu itu udah kek radio yang kadaluarsa tau gak. Bikin orang-orang tutup kuping.” Bentakku sambil menyentil pipinya dan memonyongkan sedikit bibirku. 

Yang di bentak hanya nyengir kuda dengan tampang tanpa dosa dan merangkulku untuk duduk di bangku koridor depan kelas. Kebetulan ini adalah jam istirahat.

“Ehh Bun, aku mau nanya deh.”

“Nanya apa neng? Keknya serius amat.”

“Kamu percaya love at the first sight sight gak?”

“Cinta pada pandangan pertama? Of course! Kenapa?”

“Trus trus kalo setiap liat seseorang bawaannya deg-degan mulu tapi seneng itu namanya apa?” tanyaku sok polos.

“Pertanyaan aku, kamu itu kenapa? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” katanya mulai curiga dan melihatku dengan tatapan yang dalam seakan-akan sedang membaca pikiranku.

“Engga papa, Cuma nanya kok.”

Karena tidak ingin ditanyai lebih lanjut oleh teman bawelku ini, aku masuk ke dalam kelas meninggalkannya di bangku koridor. Ku urungkan niatku untuk bercerita mengenai hal yang terjadi tadi pagi kepada temanku Atika. Mungkin akan lebih baik jika aku menyimpannya sendiri.

***

Sudah hampir satu semester ini aku mengagumi sosok Nathan yang notabene adalah sosok yang dikenal dingin. Mengagumi dalam diam lebih tepatnya. Memang, rasa kagumku ini hanya aku simpan seorang diri tanpa siapapun tahu termasuk teman dekatku Atika. Namun, kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku bahagia walaupun hanya bisa memandanganya dari kejauhan, memperhatikan ketika dia bercengkrama dengan teman-temannya dari kejauhan, dan melihat senyum indahnya dari kejauhan pula. Nathan adalah penyemangatku yang kedua setelah orang tuaku untuk lebih rajin belajar di sekolah sejak pagi itu. Pagi di mana aku bertemu dengannya untuk pertama kali.

“Ayoo Kan!!! Drible sendiri!!! Masukin bolanya ke ring!!”

“Kania.. Kania.. Kania..”

“Ganbatte Kaniungg”

Aku sedang berlatih basket di lapangan sekolah sore ini dan suara cempreng yang sedang menyemangatiku itu adalah suara Atika. Ya, aku adalah salah satu anggota dari team basket di sekolahku. Namun tidak dengan Atika, Ia hanya saja kebetulan ingin melihat aku bermain dan menungguiku sampai latihan selesai.

Ketika aku sedang mendrible bola, sosok yang selalu aku ingin lihat itu muncul dan berdiri di tepi lapangan basket. Seketika itu hatiku kembali berdegup sangat kencang. Sedikit lebay memang. Tapi kenyataannya memang begitu. Aku kelihangan fokusku. Ku lemparkan bola ke arah temanku dan aku sedikit menepi sambil mengusap peluh di dahiku.

“priiiiitttt priiiiitttt priiitttt.” Suara peluit akhirnya mengakhiri permainan. Aku bejalan ke tepi lapangan dan duduk di samping Atika dan tepat di belangkangku adalah Nathan. Sekarang gantian team cowok yang bermain di lapangan.

Sedang asyik menikmati permainan basket dari team cowok, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah bola yang melayang tepat ke arahku. Refleks ke tutup mataku dengan kedua tangan rapat-rapat.

“kyaaaaaaaa!!” teriakku sambil terus menutup mata.

1 detik, 2 detik, 3 detik.

Loh kok aku nggak ngrasain apa-apa ya. Perasaan tadi bolanya melayang tepat ke arah aku banget deh. Ya ampun.

Aku membuka mata dan berhenti berteriak. Ku tengok kanan dan kiri mencari jawaban ke mana bola yang jelas-jelas tadi melayang ke arahku.

“auuu!” pekik seseorang di belakangku.

Aku tersentak, di belakangku adalah Nathan. Apa dia yang terkena bola itu? Aku pun langsung memutar tubuhku dan benar, aku melihat Nathan memekik kesakitan sambil melempar bola yang mengenainya tadi ke arah lapangan.

“Aduh, maaf Nath. Engga sengaja deh.” Seru salah seorang yang sedang bermain di lapangan.

Tanpa berpikir panjang, aku segera berdiri dan menghampiri Nathan dan bertanya apakah dia benar-benar baik saja karena lemparan bola itu agaknya cukup keras dan terlihat ada benjolan di dahi kanannya.

“ya.” Jawabnya singkat sambal merapihkan rambut bagian depan yang sedikit berantakan karena terkena lemparan bola.

“Tapi.. itu.. jidat kamu benjol gitu. Beneran engga sakit emang? Aku obtain ya di UKS, kayaknya UKS belum tutup deh.” ajakku sambil menunjuk arah ruang UKS yang tidak jauh dari lapangan basket dengan pintu yang masih terbuka.

“engga usah.”

Nathan sama sekali tidak menatapku ketika menjawab ajakanku. Auranya dingin, dia seperti mengabaikan keberadaanku di dekatnya. Sedikit kesal karena dia mengabaikan keberadaanku dan sifatnya yang keras kepala tidak mau diobati itu, aku langsung menarik tangannya dengan sedikit paksaan dan berjalan menuntunnya menuju ke ruang UKS. Yang di tarik hanya diam tidak menolak. Aku pun tersenyum dalam hati. Namun rasa gugup tidak bisa aku hindari karena bagaimanapun ini adalah kali pertamaku memegang tangan Nathan.

Dengan telaten, aku mengobati luka benjolan di kepala Nathan dan dengan susah payah aku menyembunyikan kegugupanku itu. Untungnya aku bisa menyembunyikannya dan berpura-pura serius mengobati lukanya.

“Pegang nih. Itu kapas udah tak kasih alkohol biar benjol kamu cepet kempes.” Ujarku halus.
Tidak ada tanggapan. Yang diajak bicara hanya diam dengan ekspresi muka datar dan dingin.

Kenapa Nathan dingin sekali. Padahal waktu itu jelas-jelas aku bisa merasakan kehangatan darinya. Dia kenapa sih? Apa dia engga inget kejadian itu? Atau udah lupa sama aku?

Krik.

Kami terjebak dalam diam. Suasana ini membuatku canggung dan membuat degupan di jantungku semakin mengeras. Kenapa dengan menatapnya saja bisa membuatku segugup ini? Ya Tuhan. Dalam lubuk hati, aku bahagia sekali bisa satu langkah lebih dekat dengannya, walau sikap dinginnya membuatku sesak beberapa kali.

Saat ini, aku berharap waktu berhenti berputar. Aku ingin terus seperti ini, menatap sosok yang yang begitu aku kagumi dari dekat. Namun tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiranku untuk mencoba mendekatinya atau mencuri perhatiannya agar dia tau kalau aku mengaguminya. Apa yang aku lakukan saat ini yakni mengobati lukanya tak lain karena rasa khawatir.

Aku tidak tau sampai kapan akan terus mengagumi sosok ini dalam diam. Namun sekarang, biarkanlah seperti ini, karena aku bahagia bisa mengaguminya dalam diam tanpa yang dikagumi harus tau.

Biarkan aku mengagumi
Dalam diam
Tanpa perlu kamu tahu
-Kania
Semarang, 18 November 2015

4 komentar: