Rabu, 16 Desember 2015

Cerpen Tema Keadaan Sosial



Tuhan, Aku Ingin Sekolah
Oleh : Widiana Sari

Terik matahari tidak menghalangi semangat Anik untuk mencari rezeki dari tumpukan sampah di TPU sekitar tempat tinggalnya. Dengan bermodalkan karung yang Ia bawa dari rumah, Anik mengais sampah-sampah yang sekiranya bisa ditukar dengan beberapa lembar rupiah hingga karungnya penuh. Peluh yang mengucur dari dahi pun tak mengendurkan semangatnya untuk terus bergumul dengan benda yang berbau tak sedap ini.

Anik, begitulah orang-orang memanggilnya. sosok ceria yang baru menginjak usia 9 tahun ini adalah satu diantaranya banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari tumpukan sampah. Di usianya yang masih terbilang sangat muda, Ia harus akrab dengan sampah demi membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Anik tidak pernah merasa malu dengan pekerjaan yang Ia tekuni sekarang. Meskipun terkadang Ia harus berlapang dada menghadapi cemoohan dari teman-temannya karena dia tidak sekolah. Baginya membantu orang tua adalah yang utama, mengingat orang tua yang tersisa sekarang  hanyalah Ibunya. Bapaknya sudah 3 tahun meninggal karena penyakit liver. Jadi, Anik harus bekerja membantu Ibunya yang juga seorang pemulung demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.

Ketika sedang asik mengorek-ngorek sampah, Anik melihat ada sebuah buku diantara tumpukan sampah yang terbungkus plastik kresek berwarna putih. Entah kenapa, Ia ingin sekali mengambilnya. Di ambilah buku yang terbungkus plastik tersebut kemudian ia buka plastik untuk mengeluarkan bukunya dari plastik kresek.

“Sepertinya buku ini bagus, banyak gambarnya, lucu.” batin Anik sambal membolak-balik buku.

Tapi seketika itu pula Anik sadar, ia tidak bisa membaca. Tidak mungkin ia membawa buku ini pulang karena ia tidak bisa membacanya. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Ia masukkan buku tersebut ke dalam karung yang sudah penuh dengan sampah untuk di bawa pulang. Ia berharap salah satu dari temannya yang sudah bersekolah mau mengajarinya membaca ketika Ia sudah sampai di rumah.

***

Anik duduk terdiam di atas dipan bambu kamarnya. Hatinya sedikit teriris dengan kejadian tadi yang menimpanya. Tadi, setelah pulang dari tempat pengepul sampah langganannya, Ia menghampiri salah seorang temannya yang sedang bermain dengan teman yang lain. Anik menyodorkan buku yang tadi ditemukannya di tumpukan sampah, dan meminta agar temannya itu mengajarinya membaca karena Ia sangat ingin membaca buku itu.

“Dian, tadi aku nemu buku ini di tumpukan sampah. Sepertinya bukunya bagus. Banyak gambarnya. Ajarin aku biar bisa bacanya dong. Aku ingin sekali bisa baca buku ini.” Ucap Anik dengan penuh harap.

Temannya yang bernama Dian itu hanya tertawa. Ia seperti menertawai apa yang diomongkan Anik tadi dan menjawab.

“Hahaha kamu ini Nik, kalo mau bisa baca itu ya sekolah. Jangan minta ajarin aku. Kalo nggak bisa sekolah nggak usah pengen bisa baca. Mending sana cari sampah lagi. Haha.”

Seketika itu pun teman yang lainnya ikut menertawai Anik. Permintaannya yang tulus agar Ia diajari membaca sama sekali tidak membuahkan hasil. Sekarang justru Ia menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Karena tidak kuat dengan perlakuan teman-temannya itu, Ia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Anik berlari sambil menahan air matanya agar tidak jatuh sembari mendekap erat buku miliknya.

Dari dulu memang ia sangat ingin bersekolah seperti teman-teman sebayanya. Tapi keadaan ekonomilah yang memaksanya untuk melupakan keinginannya itu. Tapi sekarang, keinginan untuk bersekolah itu kembali muncul ketika Anik mendapatkan buku yang tadi ia temukan di tumpukan sampah. Ia benar-benar ingin merasakan bagaimana senangnya berada di bangku sekolah, belajar membaca dan berhitung bersama teman-temannya, dan bermain bersama teman-temannya.

Sesampainya di rumah, Ia langsung pergi ke kamar dan menumpahkan air mata yang dari tadi sempat dibendungnya. Namun itu tidak berlangsung lama karena Anik tidak mau Ibunya melihat ketika Ia sedang menangis. Buku yang sedari tadi Ia dekap kini telah diletakkan di bawah kasur kerasnya.
Melihat anak satu-satunya yang sedang duduk terdiam dan termenung di atas dipan, ibunya sedikit khawatir. Ia pun menghampiri anaknya yang sedang duduk di atas dipan kamarnya.

“Kamu ini kenapa to nduk? Ndak biasanya kamu nglamun begini.”

“Tidak apa-apa kok Mbok.” Jawabnya sambil menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya agar ibunya percaya bahwa dia tidak apa-apa walaupun Anik tahu bahwa Ibunya tidak bisa didustai.

Tidak mungkin Ia menceritakan apa yang terjadi tadi kepada Ibunya karena itu akan menambah beban pikiran orang tua satu-satunya. Keadaan ekonomi yang serba kekurangan ini sudah cukup membuat Ibunya banyak pikiran dan Anik tidak ingin menambah beban pikiran Ibunya dengan mengatakan bahwa Ia sangat ingin bersekolah. Biarlah apa yang ia inginkan itu dipendam dalam hatinya sendiri. Biarlah hanya dirinya dan tuhan yang tahu keinginan terbesarnya.

***
Pukul 22.30 WIB Anik masih terjaga. Sedari tadi Ia hanya melamun di kamar sempitnya sambil mendekap buku yang ditemukan tadi pagi yang sekarang menjadi barang kesayangannya. Pikirannya hanya berputar-putar pada keinginan terbesarnya yaitu bisa bersekolah agar setidaknya Ia bisa membaca seperti anak-anak lain. Anik membayangkan bagaimana rasanya memakai seragam sekolah yang dari dulu sangat ingin Ia kenakan. Ia membayangkan bagaimana senangnya bisa belajar di ruang kelas bersama teman-teman sebayanya dan bermain bersama tanpa ada cemoohan lagi. Namun, lagi-lagi itu hanya sekadar imaji sesaatnya saja.

Sepertinya bangku sekolah memang merupakan sesuatu yang mahal dan mustahil dijangkau untuk Anik. Dan lagi-lagi keadaan ekonomilah yang menjadi penghambat atas keinginannya itu. Walaupun pemerintah telah menetapkan peraturan wajib sekolah 9 tahun dan biaya pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di biayai oleh pemerintah, tetap saja itu masih dirasa berat. Karena kebutuhan sehari-hari untuk anak sekolah tidaklah sedikit mulai dari seragam sekolah, sepatu, tas, buku, dan peralatan lainnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Ibunya tidak sanggup memasukka Anik ke bangku sekolah karena Ibunya tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan tadi. Belum lagi, jika Anik bersekolah siapa yang akan membantu Ibunya banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka?

Pikiran-pikiran tersebut terus berkelebat di dalam otak Anik. Di satu sisi Ia kasihan kepada ibunya namun di sisi yang lain ia benar-benar ingin menyenyam bangku pendidikan. Tapi jika pun Ia benar ingin bersekolah, Ia tidak boleh membebani Ibunya. Tapi bagaimana caranya?

Anik semakin bimbang, bingung, dan dilema. Seharusnya untuk ukuran anak yang masih berumur 9 tahun, perasaan seberat ini belum waktunya menghampiri, karena anak seusia Anik seharusnya masih ceria-cerianya dalam bermain, belajar dan bergaul bersama teman-temannya. Namun keadaan hidup Anik yang seperti ini memaksanya untuk lebih dewasa dalam berpikir dibanding anak-anak seuasianya.

Tidak mau terlalu keras berpikir, Anik memutuskan untuk tidur dan merilekskan pikirannya. Sebelum tidur, diletakkan kembali buku kesayangannya itu di bawah kasur. Tidak lupa pula Anik membaca doa sebelum tidur dan sedikit memanjatkan harapannya kepada yang maha segala. Dengan sedikit terpejam, Ia mengutarakan harapannya.

“Tuhan, aku ingin sekolah.” Ucapnya dalam hati dan kemudian terlelap.


Semarang, 7 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar