Tuhan, Aku Ingin
Sekolah
Oleh : Widiana Sari
Terik matahari tidak menghalangi semangat Anik untuk
mencari rezeki dari tumpukan sampah di TPU sekitar tempat tinggalnya. Dengan
bermodalkan karung yang Ia bawa dari rumah, Anik mengais sampah-sampah yang
sekiranya bisa ditukar dengan beberapa lembar rupiah hingga karungnya penuh.
Peluh yang mengucur dari dahi pun tak mengendurkan semangatnya untuk terus
bergumul dengan benda yang berbau tak sedap ini.
Anik, begitulah orang-orang memanggilnya. sosok
ceria yang baru menginjak usia 9 tahun ini adalah satu diantaranya banyak orang
yang menggantungkan hidupnya dari tumpukan sampah. Di usianya yang masih
terbilang sangat muda, Ia harus akrab dengan sampah demi membantu mencukupi
kebutuhan keluarganya. Anik tidak pernah merasa malu dengan pekerjaan yang Ia
tekuni sekarang. Meskipun terkadang Ia harus berlapang dada menghadapi cemoohan
dari teman-temannya karena dia tidak sekolah. Baginya membantu orang tua adalah
yang utama, mengingat orang tua yang tersisa sekarang hanyalah Ibunya. Bapaknya sudah 3 tahun
meninggal karena penyakit liver. Jadi, Anik harus bekerja membantu Ibunya yang
juga seorang pemulung demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.
Ketika sedang asik mengorek-ngorek sampah, Anik
melihat ada sebuah buku diantara tumpukan sampah yang terbungkus plastik kresek
berwarna putih. Entah kenapa, Ia ingin sekali mengambilnya. Di ambilah buku
yang terbungkus plastik tersebut kemudian ia buka plastik untuk mengeluarkan
bukunya dari plastik kresek.
“Sepertinya buku ini bagus, banyak gambarnya, lucu.”
batin Anik sambal membolak-balik buku.
Tapi seketika itu pula Anik sadar, ia tidak bisa
membaca. Tidak mungkin ia membawa buku ini pulang karena ia tidak bisa
membacanya. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Ia masukkan buku tersebut ke
dalam karung yang sudah penuh dengan sampah untuk di bawa pulang. Ia berharap salah
satu dari temannya yang sudah bersekolah mau mengajarinya membaca ketika Ia
sudah sampai di rumah.
***
Anik duduk terdiam di atas dipan bambu kamarnya.
Hatinya sedikit teriris dengan kejadian tadi yang menimpanya. Tadi, setelah
pulang dari tempat pengepul sampah langganannya, Ia menghampiri salah seorang
temannya yang sedang bermain dengan teman yang lain. Anik menyodorkan buku yang
tadi ditemukannya di tumpukan sampah, dan meminta agar temannya itu
mengajarinya membaca karena Ia sangat ingin membaca buku itu.
“Dian, tadi aku nemu buku ini di tumpukan sampah.
Sepertinya bukunya bagus. Banyak gambarnya. Ajarin aku biar bisa bacanya dong.
Aku ingin sekali bisa baca buku ini.” Ucap Anik dengan penuh harap.
Temannya yang bernama Dian itu hanya tertawa. Ia seperti
menertawai apa yang diomongkan Anik tadi dan menjawab.
“Hahaha kamu ini Nik, kalo mau bisa baca itu ya
sekolah. Jangan minta ajarin aku. Kalo nggak bisa sekolah nggak usah pengen bisa
baca. Mending sana cari sampah lagi. Haha.”
Seketika itu pun teman yang lainnya ikut menertawai
Anik. Permintaannya yang tulus agar Ia diajari membaca sama sekali tidak
membuahkan hasil. Sekarang justru Ia menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Karena
tidak kuat dengan perlakuan teman-temannya itu, Ia memutuskan untuk beranjak
dari tempat itu. Anik berlari sambil menahan air matanya agar tidak jatuh
sembari mendekap erat buku miliknya.
Dari dulu memang ia sangat ingin bersekolah seperti
teman-teman sebayanya. Tapi keadaan ekonomilah yang memaksanya untuk melupakan
keinginannya itu. Tapi sekarang, keinginan untuk bersekolah itu kembali muncul
ketika Anik mendapatkan buku yang tadi ia temukan di tumpukan sampah. Ia
benar-benar ingin merasakan bagaimana senangnya berada di bangku sekolah,
belajar membaca dan berhitung bersama teman-temannya, dan bermain bersama
teman-temannya.
Sesampainya di rumah, Ia langsung pergi ke kamar dan
menumpahkan air mata yang dari tadi sempat dibendungnya. Namun itu tidak
berlangsung lama karena Anik tidak mau Ibunya melihat ketika Ia sedang
menangis. Buku yang sedari tadi Ia dekap kini telah diletakkan di bawah kasur
kerasnya.
Melihat anak satu-satunya yang sedang duduk terdiam
dan termenung di atas dipan, ibunya sedikit khawatir. Ia pun menghampiri
anaknya yang sedang duduk di atas dipan kamarnya.
“Kamu ini kenapa to nduk? Ndak biasanya kamu nglamun
begini.”
“Tidak apa-apa kok Mbok.” Jawabnya sambil
menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya agar ibunya percaya bahwa dia tidak
apa-apa walaupun Anik tahu bahwa Ibunya tidak bisa didustai.
Tidak mungkin Ia menceritakan apa yang terjadi tadi
kepada Ibunya karena itu akan menambah beban pikiran orang tua satu-satunya. Keadaan
ekonomi yang serba kekurangan ini sudah cukup membuat Ibunya banyak pikiran dan
Anik tidak ingin menambah beban pikiran Ibunya dengan mengatakan bahwa Ia
sangat ingin bersekolah. Biarlah apa yang ia inginkan itu dipendam dalam
hatinya sendiri. Biarlah hanya dirinya dan tuhan yang tahu keinginan
terbesarnya.
***
Pukul 22.30 WIB Anik masih terjaga. Sedari tadi Ia
hanya melamun di kamar sempitnya sambil mendekap buku yang ditemukan tadi pagi
yang sekarang menjadi barang kesayangannya. Pikirannya hanya berputar-putar
pada keinginan terbesarnya yaitu bisa bersekolah agar setidaknya Ia bisa
membaca seperti anak-anak lain. Anik membayangkan bagaimana rasanya memakai
seragam sekolah yang dari dulu sangat ingin Ia kenakan. Ia membayangkan
bagaimana senangnya bisa belajar di ruang kelas bersama teman-teman sebayanya
dan bermain bersama tanpa ada cemoohan lagi. Namun, lagi-lagi itu hanya sekadar
imaji sesaatnya saja.
Sepertinya bangku sekolah memang merupakan sesuatu
yang mahal dan mustahil dijangkau untuk Anik. Dan lagi-lagi keadaan ekonomilah
yang menjadi penghambat atas keinginannya itu. Walaupun pemerintah telah
menetapkan peraturan wajib sekolah 9 tahun dan biaya pendidikan di Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama di biayai oleh pemerintah, tetap saja itu masih
dirasa berat. Karena kebutuhan sehari-hari untuk anak sekolah tidaklah sedikit
mulai dari seragam sekolah, sepatu, tas, buku, dan peralatan lainnya. Hal
inilah yang menjadi alasan mengapa Ibunya tidak sanggup memasukka Anik ke
bangku sekolah karena Ibunya tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan tadi. Belum
lagi, jika Anik bersekolah siapa yang akan membantu Ibunya banting tulang untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka?
Pikiran-pikiran tersebut terus berkelebat di dalam
otak Anik. Di satu sisi Ia kasihan kepada ibunya namun di sisi yang lain ia
benar-benar ingin menyenyam bangku pendidikan. Tapi jika pun Ia benar ingin
bersekolah, Ia tidak boleh membebani Ibunya. Tapi bagaimana caranya?
Anik semakin bimbang, bingung, dan dilema.
Seharusnya untuk ukuran anak yang masih berumur 9 tahun, perasaan seberat ini
belum waktunya menghampiri, karena anak seusia Anik seharusnya masih
ceria-cerianya dalam bermain, belajar dan bergaul bersama teman-temannya. Namun
keadaan hidup Anik yang seperti ini memaksanya untuk lebih dewasa dalam
berpikir dibanding anak-anak seuasianya.
Tidak mau terlalu keras berpikir, Anik memutuskan
untuk tidur dan merilekskan pikirannya. Sebelum tidur, diletakkan kembali buku
kesayangannya itu di bawah kasur. Tidak lupa pula Anik membaca doa sebelum
tidur dan sedikit memanjatkan harapannya kepada yang maha segala. Dengan
sedikit terpejam, Ia mengutarakan harapannya.
“Tuhan, aku ingin sekolah.” Ucapnya dalam hati dan
kemudian terlelap.
Semarang, 7
Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar